Ada tiga kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu sediaan agar dapat disebut sebagai obat, apabila salah satunya tidak dapat dibuktikan, maka sediaan tersebut tidak dapat disebut dengan obat, kriteria tersebut adalah aman, bermanfaat, dan berkualitas.
Sebagaimana yang kutuliskan pada jawaban sebelumnya, suatu produk obat paten/innovator/originator telah memenuhi seluruh kriteria tersebut berdasarkan evaluasi yang komprehensif dan menghabiskan banyak sekali biaya.
Tahapan evaluasi yang harus dilalui oleh obat paten dimulai dari uji pre-klinik (toksikologi), uji klinik, sampai post-marketing surveilance.
Oleh karena itu, obat generik/copy yang dibuat berdasarkan obat innovator yang sudah habis masa patennya, dipersyaratkan untuk memenuhi persyaratan uji ekivalensi baik secara in vitro (uji disolusi terbanding, dilakukan dengan instrumen) maupun in vivo (uji bioekivalensi, dilakukan dengan sukarelawan manusia).
Uji ekivalensi ini bertujuan untuk mengetahui, apakah obat generik memiliki keamanan dan keefektifan yang sama dengan obat innovatornya.
Kita muter lagi kepada poin awal.
Uji disolusi terbanding merupakan studi awal sebelum dilakukannya uji ekivalensi secara in vivo.
Alasan utama produsen obat copy sebisa mungkin menghindari uji bioekivalensi secara in vivo adalah efisiensi biaya pengembangan obat.
Kalau kamu jadi pemilik perusahaan farmasi, kamu lebih pilih mana? Harus mengumpulkan orang sebagai sukarelawan untuk direkam profil bioavailabilitasnya atau cukup melakukan pengujian dengan instrumen yang pastinya jauh lebih murah biayanya?
Iya, walaupun tidak membuat bahan aktif obat dari awal, tetap saja biaya untuk mengumpulkan segala dokumen yang diperlukan untuk registrasi obat itu mahal.
Oleh karena itu BPOM memberikan keringanan dalam kondisi tertentu kepada beberapa obat copy, [1] seperti:
- Produk obat yang tidak memerlukan studi in vivo
- Produk obat copy yang hanya berbeda kekuatan, uji disolusi terbanding dapat diterima untuk kekuatan yang lebih rendah berdasarkan perbandingan profil disolusi.
- Zat aktif memiliki kelarutan dalam air yang tinggi dan permeabilitas dalam usus yang tinggi (BCS kelas 1).
- Zat aktif memiliki kelarutan dalam air yang tinggi tetapi permeabilitas dalam usus yang rendah (BCS kelas 3).
Untuk obat - obatan tersebut, produsen tidak perlu melakukan uji bioekivalensi in vivo, cukup uji disolusi terbanding secara in vitro.
Untuk melaksanakan uji disolusi terbanding, kita harus memiliki mesin dissolution tester.
Uji disolusi terbanding dilakukan dengan membandingkan profil disolusiantara produk obat copy terhadap produk innovator.
Pengujian dilakukan menggunakan 3 medium disolusi yang berbeda, yaitu medium asam klorida pH 1.2 (simulasi cairan lambung), medium buffer sitrat pH 4.5 dan medium buffer fosfat pH 6.8 (simulasi cairan usus) masing-masing sebanyak 900 ml dengan suhu 37 ± 0.5 °C (simulasi suhu tubuh manusia).
Pengambilan sampel dilakukan sejumlah tertentu pada menit tertentu yang ditentukan dalam protokol yang telah ditetapkan sebelumnya, kadar dari obat kemudian dihitung menggunakan spektrofotometer atau instrumen lain yang sesuai.
Data konsentrasi obat copy pada setiap waktu pengambilan sampel kemudian akan diplot ke dalam kurva profil disolusi dan dianalisis dengan menghitung faktor kemiripan antara obat copy dengan obat innovator.
Begitu deh kira - kira (^_<)
Catatan Kaki
No comments:
Post a Comment