Wednesday, May 29, 2019

Mengapa obat tetes mata tidak menyebabkan rasa perih ketika memakainya?

Selain akibat iritasi ringan yang disebabkan debu atau pasir, rasa perih yang kita rasakan pada mata dapat terjadi saat mata kita terpapar oleh bahan yang dapat mengganggu keseimbangan tekanan osmosis [1] mata, contohnya surfaktan/deterjen yang terdapat pada sabun/shampoo.
Selain memang diperuntukkan bagi kondisi khusus seperti untuk mengatasi pembengkakan pada kornea mata, [2] obat - obatan yang digunakan dengan cara diteteskan langsung pada mata harus memiliki tekanan osmosis yang sama dengan cairan mata (isotonis).
Tekanan osmosis ini begitu penting untuk diperhatikan karena hanya dalam kondisi isotonis perpindahan cairan dari dan ke dalam sel terjadi secara seimbang.

Sumber gambarHypotonic Solution
Apabila mata terpapar dengan bahan yang memiliki tekanan osmotik yang lebih rendah dari cairan mata (hipotonis) maka cairan tersebut akan masuk ke dalam sel mata (Gambar a). Hal ini bukan merupakan kondisi yang ideal, sel akan pecah apabila terlalu banyak cairan dari luar yang terbawa masuk kedalamnya, dan tentu akan menyebabkan rasa sakit.
Sementara itu, jika suatu bahan memiliki tekanan osmotik yang lebih tinggi dari cairan mata (hipertonis) maka cairan dalam sel mata akan tertarik keluar(Gambar c). Rasa sakit akan terjadi akibat penciutan sel karena cairan didalamnya berkurang.
Nah, lalu bagaimana merekayasa agar suatu larutan tetes mata memiliki tekanan osmosis yang sama dengan cairan mata? Jawabannya adalah dengan ditambahkan cairan pengisotonis dengan perhitungan tertentu, [3]contohnya adalah Natrium Klorida setara dengan 0.9%.
Itulah mengapa garam yang digunakan di industri farmasi adalah garam khusus (pharmaceutical grade) dengan kemurnian yang tinggi dan konsisten, bisa puyeng nanti kami kalau setiap produksi harus menghitung dulu jumlah NaCl yang perlu ditambahkan kalau kadarnya berbeda - beda tiap batch- nya.
Catatan Kaki

Tuesday, May 28, 2019

Bagaimana perusahaan farmasi menjamin/mengontrol keaslian obat-obatan yang telah mereka distribusikan ke apotik, agar tidak terjadi pemalsuan?

Selain dengan menggunakan jalur distribusi yang aman melalui pedagang besar farmasi (PBF) terpercaya dengan aturan Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB) yang ketat, sediaan farmasi dan obat - obatan harus dilindungi dengan berbagai cara (multi layered security).


Teknologi anti-pemalsuan yang baik harus memiliki tingkat keamananyang tinggi (tidak dapat atau sulit dikloning/dimanipulasi), dapat diterapkan pada berbagai bentuk sediaan farmasi, memiliki standar yang baku, mudah untuk diperiksa oleh konsumen maupun petugas dalam rantai distribusi, dan lain sebagainya.
Sampai saat ini, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengontrol keaslian obat - obatan, mulai dari pendekatan klasik sampai yang memanfaatkan perkembangan teknologi, diantaranya adalah:
#1. Kemasan yang dapat rusak setelah dibuka (tamper evident/tamper resistant)
Kemasan memiliki indikator atau penghalang khusus yang dapat digunakan sebagai bukti bahwa telah terjadi gangguan pada kemasan tersebut, seperti segel pada tutup botol atau flap pada kemasan karton yang rusak apabila kemasan telah dibuka.
#2. Mekanisme otentifikasi produk
Produsen dapat menambahkan beberapa fitur pada kemasan obat - obatan untuk membantu konsumen membedakan mana obat yang asli dan palsu, contohnya dengan pencantuman hologram/color shift ink atau watermark.
Nah, kedua mekanisme diatas merupakan sistem yang klasik dan sangat mudah untuk dimanipulasi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Metode selanjutnya yang hendak aku diskusikan akan lebih rumit lagi.
#3. Teknologi pelacakan (track and trace)
Penerapan sistem terkomputerisasi untuk mencegah pemalsuan obat dilakukan dengan menambahkan identitas unik kepada setiap unit stok selama proses produksi.
Informasi yang disematkan pada kemasan berada dalam bentuk unik, yang dapat berupa Radio Frequency Identification (RFID) atau 2D barcode dengan suatu mekanisme enkripsi untuk mengamankannya.
Hal ini dilakukan untuk mencegah agar obat palsu tidak masuk ke rantai distribusi dan pada akhirnya diterima oleh pasien.
Pada tahun 2018 kemarin, ada suatu peraturan baru yang ditetapkan oleh Badan POM Republik Indonesia, terkait dengan pengamanan sediaan farmasi dan obat - obatan untuk mengikuti perkembangan dunia farmasi global. [1]
US FDA dan Uni Eropa telah lebih dahulu mengeluarkan peraturan ini, dibawah Drug Supply Chain Security Act dan EU Falsified Medicines Directive, hanya masalah waktu saja sampai banyak perusahaan farmasi di Indonesia menerapkannya.
Peraturan ini mewajibkan suatu industri farmasi untuk memiliki sistem penelusuran (serialisasi) yang dapat digunakan untuk mengidentifikasidan memvalidasi keaslian dari suatu produk obat yang beredar di pasaran.
Sebenarnya sudah ada beberapa big pharma yang telah bertindak sebagai early adopter dalam proses serialisasi ini, seperti:
Pfizer pada Viagra [2]
Merck Serono pada Serotism [3]
Sistem serialisasi tersebut memungkinkan perusahaan farmasi untuk menelusuri produk mereka berdasarkan prinsip anak (kemasan terkecil), orang tua (shipper), dan kakek (pallet).
Dengan cara ini, dapat diketahui dari site mana produk obat tersebut dibuat apabila suatu industri farmasi merupakan MNC yang memiliki operasi di berbagai negara di seluruh dunia.
Petugas dalam rantai distribusi dapat melakukan scanning saat menerima barang dari rantai distribusi sebelumnya, seperti saat produk diterima oleh petugas di Apotek. Data hasil scan kemudian akan dikirimkan kepada server BPOM dan perusahaan farmasi untuk diotentifikasi kebenarannya.
Bagi perusahaan farmasi hal ini akan menguntungkan, karena dapat memberikan update secara real time, sebenarnya sudah sampai dimana produk obat yang mereka produksi.
Hal ini akan sangat memudahkan jika di kemudian hari ada suatu hal yang mengharuskan suatu perusahaan farmasi untuk melakukan penarikan kembali (recall) terhadap suatu produk obat tertentu.
Kita sebagai konsumen juga dapat melakukan pengecekan secara mandiri kok, karena Badan POM telah mengeluarkan aplikasi BPOM mobile untuk melakukan otentifikasi dan/atau identifikasi terhadap produk obat dan sediaan farmasi lainnya. [4]
Memang, penerapan hal ini masih terbatas karena merupakan teknologi yang masih baru di dunia farmasi Indonesia.
Inilah pe-er bagi para insinyur di industri farmasi untuk segera mengimplementasikannya (・_・)ノ


Mari kita berdoa agar sistem ini segera bisa diterapkan secara menyeluruh di negara kita tercinta ini. Jadi di masa depan setiap kita mau minum obat, kita tidak perlu khawatir obat yang kita minum adalah obat palsu.
Kita hanya perlu mengambil smartphone kita, membuka aplikasi yang tepat, dan
NIT NIT, scanning complete!
Terima kasih sudah berkenan membaca! °˖✧◝(⁰▿⁰)◜✧˖°
Catatan Kaki

Apa yang terjadi pada tubuh orang yang mengalami ketergantungan obat-obatan generik tertentu?



Kecenderungan seseorang untuk mengonsumsi suatu obat terus menerus dalam jangka waktu yang panjang dapat disebakan oleh efek toleransi maupun efek adiksi/dependensi. Ketiganya memiliki mekanisme yang berbeda, walaupun saling terkait satu sama lain (o・_・)ノ”(ノ_<、)
#1. Toleransi
Secara sederhana, toleransi adalah suatu konsep yang menjelaskan bagaimana suatu obat dapat kehilangan efektivitasnya secara bertahap dalam suatu pemakaian berulang.
Seperti saat kita terbiasa mengonsumsi obat sakit kepala saat pusing atau obat pereda hidung tersumbat saat pilek.
Hingga pada akhirnya di suatu titik, pusing kita tidak dapat hilang hanya dengan mengonsumsi satu tablet obat pereda sakit kepala seperti biasanya? Lalu apa yang kita lakukan?
Makan dua tablet? (´ ∀ ` *)/
Walaupun meningkatkan dosis dapat mengamplifikasi efek dari suatu obat, hal itu hanya akan mempercepat proses terjadinya toleransi.
Toleransi dapat terjadi secara farmakokinetika, akibat berkurangnyajumlah bahan aktif obat yang mencapai reseptor untuk memengaruhi suatu mekanisme biologis.
Hal ini terjadi akibat meningkatnya produksi enzim tertentu sebagai mekanisme adaptasi alami tubuh. Enzim-enzim ini akan memproses obat tersebut menjadi bentuk tidak aktifnya, contohnya enzim dalam keluarga sitokrom P450 yang bertanggung jawab pada metabolisme lintas pertama di hati.
Selain itu, bisa juga terjadi toleransi secara farmakodinamika pada obat-obatan yang bekerja sebagai agonis (untuk mengaktivasi) suatu reseptor, contohnya fenilefrin yang menjadi bahan aktif di banyak obat flu untuk melegakan hidung tersumbat. [1]
Oh ya, yang dimaksud dengan reseptor adalah suatu molekul protein yang terdapat pada permukaan sel, dan berfungsi untuk menerima sinyal kimia dari luar sel.
Saat suatu sinyal kimia seperti hormon atau neurotransmitter berikatan dengan reseptor, akan terjadi suatu respons seluler atau jaringan secara kolektif. [2]
Terlalu banyak mengonsumsi obat tertentu akan membuat sel tubuh kita menyesuaikan jumlah reseptor pada permukaannya, proses ini disebut dengan receptor-down-regulation.
Contoh desensitasi dijelaskan secara baik pada obat-obatan yang bertarget pada reseptor terkait protein G (GPCR). Reseptor ini merupakan target utama dari 30% obat-obatan yang ada saat ini.
Berkurangnya sensitivitas reseptor diawali dengan terikatnya suatu obat agonis secara kronis (pemakaian terus menerus dalam jangka panjang). Hal tersebut akan mengaktifkan enzim G-protein-coupled receptor kinase (GRKs). [3]
Enzim GRK akan mengubah susunan GPCR[4] melalui proses fosforilasi agar dapat berikatan dengan beta-arrestin.
Reseptor yang terikat dengan beta-arrestin kemudian akan mengalami endositosis dan menghilang dari permukaan sel. [5]
Lagi-lagi, hal ini terjadi sebagai bentuk adaptasi tubuh untuk menghindari masalah yang mungkin akan terjadi akibat teraktivasinya terus menerus suatu mekanisme biologi tertentu.
Dengan berkurangnya kerapatan dari reseptor, tentunya efek obat akan menurun karena semakin sedikit reseptor yang dapat diaktifkan olehnya. Inilah yang menyebabkan seseorang tidak mempan terhadap obat-obatan tertentu.
Itulah makanya kalau ngegombalin si teteh jangan terlalu sering, nanti dia kebal terhadap recehan kita ( ´ ω ` )/
#2. Adiksi/dependensi
Walaupun mirip, tetapi adiksi (kecanduan) dan dependensi (ketergantungan) merupakan hal yang berbeda.
Secara sederhana, adiksi terhadap suatu obat disebabkan akibat manipulasi terhadap keseimbangan neurotransmitter dalam otak. Beberapa obat yang termasuk NAPZA akan membanjiri otak dengan neurotransmitter dopamin. [6]
Penyalahgunaan senyawa-senyawa yang dapat meningkatkan produksi dopamin dapat menyebabkan gangguan pada reward system [7] pada otak.
Saya tidak akan membahas lebih lanjut karena mekanisme psikologi akibat adiksi bukanlah bidang saya.
Sementara itu, dependensi terhadap obat terjadi karena tubuh telah menyesuaikan diri dengan adanya suatu senyawa asing, dalam hal ini obat dalam tubuh kita. Sehingga apa yang sebenarnya tidak normal, dianggap sebagai suatu hal yang normal.
Nah, saat kita menghentikan penggunaan obat-obat tersebut, tubuh akan mengalami gangguan karena menganggap terjadi ketidaknormalan dalam tubuh kita.
Contoh yang paling klasik adalah gejala penarikan kortikosteroid. Saya yakin sekali orang yang mengonsumsi deksametason, prednison, metilprednisolon secara asal-asalan untuk mengobati radang tanpa petunjuk dokter, merupakan populasi utama yang sering mengalami masalah ini. [8]

Terima kasih sudah berkenan membaca. ( ´ ∀ ` )ノ
Catatan Kaki

Apakah orang yang sakit maag atau GERD bisa ikut berpuasa?

Secara singkat, GERD terjadi akibat melemahnya otot penutup kerongkongan bawah (lower oesophageal sphincter) sehingga isi lambung termasuk zat asam yang digunakan untuk mencerna makanan mengalir kembali ke kerongkongan.
Naiknya asam ini berbahaya bagi kerongkongan, karena akan menyebabkan iritasi pada lapisan permukaan (mukosa), manifestasi klinik yang akan muncul diantaranya adalah rasa terbakar pada dada (heartburn), kesulitan menelan (disfagia), dan regurgitasi.

Sumber gambar : Gastroesophageal Reflux
Karena GERD merupakan suatu penyakit multifaktorial, cara termudah untuk mengobati GERD secara non invasive adalah membiarkan otot sphinctermenyembuhkan dirinya sendiri.
Tindakan yang perlu kita lakukan hanyalah menjaga agar asam lambung tidak naik dan melukai kembali otot sphincter yang sudah normal.
Sebenarnya antasida bisa sih diminum saat sahur dan berbuka untuk menetralkan asam lambung yang berlebih di siang hari pada bulan ramadan, sayangnya antasida tidak efektif untuk mengobati GERD karena tidak menghentikan produksi asam. [1]
Lalu terapi dengan apa yang efektif? yuk kita cek bersama tatalaksana GERD yang saya lampirkan dibawah ini.
Nah, gold standard dari semua regimen obat untuk GERD adalah golongan penghambat pompa proton, terutama esomeprazole.
Ah tapi mengapa harus PPI? harga PPI mahal tauk ヽ( `д´*)ノ
Iya sih, memang mahal dan merepotkan karena mereka hanya bisa didapatkan dengan resep dokter.
Tetapi menurut hemat saya sendiri memang PPI akan lebih mudah dikonsumsi di bulan ramadan, tidak seperti H2-receptor antagonists (ranitidin, simetidin, dsb) yang harus dikonsumsi dua kali dalam sehari, PPI hanya perlu diminum satu kali sehari[2] [3]
Jika suatu obat harus diminum dua kali dalam sehari atau setiap 12 jam, dan kita sahur pukul 4 pagi, dosis selanjutnya adalah jam 4 sore, ini menyulitkan.
Selain itu berdasarkan banyak literatur memang esomeprazole merupakan obat yang paling efektif untuk mengobati GERD, dibandingkan golongan lain, [4]bahkan diantara komplotannya sendiri sesama PPI [5]
Suatu hal yang penting untuk diingat adalah esomeprazole harus dikonsumsi satu jam sebelum makan makanan berat, dan harus ditelan utuh.
Jadi, untuk menjawab pertanyaan anda apakah pengidap GERD boleh berpuasa? Jawabannya iya, boleh selama faktor resiko GERD bisa diminimalisasi, salah satunya adalah dengan menjaga pola makan dan kalau perlu ditambah perlindungan dari obat - obatan.
Saya hendak menambahkan saran agar penderita GERD sebaiknya tidak langsung tidur kembali setelah sahur dan beribadah subuh, beri jarak 30 - 60 menit agar isi perut tidak kembali naik ke kerongkongan.
Akan tetapi sudah tentu, jawaban ini tidak mutlak, dokter yang memeriksa anda pasti akan lebih mengerti kondisi dan regimen pengobatan yang sesuai. Selalu ikuti petunjuk dokter kepercayaan anda dan jangan mendebat dokter hanya berdasarkan informasi yang anda dapatkan di Internet, ow ow itu tidak bijaksana sama sekali.
Catatan Kaki

Bagaimana vaksin melindungi tubuh dari penyakit?

Membicarakan vaksin selalu membuat saya bete, salah satu impian saya yang masih belum kesampaian hingga saat ini adalah bekerja di Biofarma di Bandung.

Sudah beberapa kali saya mengikuti tahapan rekrutmen yang diadakan oleh mereka, mulai dari engineer produksi sampai penanggung jawab klinik imunisasi semuanya tidak ada yang berhasil.
Anyway, itu hanya intermezo dan kali akan dibahas tentang mekanisme kerja vaksin. Jawaban ini akan panjang, tetapi akan kucoba menulis sesederhana mungkin. Semoga tidak membosankan yah?

#1. Apa itu vaksin?
Vaksin merupakan suatu produk biologis berisi antigen dengan atau tanpa adjuvant (suatu penguat respons imun) yang digunakan untuk memicu sistem imun membentuk kekebalan terhadap suatu penyakit (imunitas dapatan buatan). [1]
Setelah divaksinasi, kita mungkin akan mengalami beberapa gejala yang tidak diinginkan seperti demam, pembengkakan atau nyeri yang menetap di tempat suntikan, sampai hilangnya nafsu makan. Berita bagusnya, hal - hal tersebut pada umumnya tidak berbahaya dan merupakan respons alami tubuh terhadap suatu bahan asing. [2]
#2. Mengapa kita bisa sakit jika terinfeksi bakteri atau virus sungguhan, tetapi tidak sakit jika bakteri atau virus itu diberikan melalui vaksinasi?
Keberadaan mikroba dalam tubuh tidak selalu menyebabkan penyakit. Lactobacillus casei di saluran pencernaan dan Staphylococcus epidermidis di kulit kita sebut bakteri baik karena mereka tidak perlu bertindak anarkis untuk bertahan hidup dan justru menguntungkan bagi kita. [3]
Patogen sekali pun juga belum menyebabkan penyakit selama belum berkembang biak sampai jumlah tertentu. Periode sejak terjadinya infeksi sampai timbul suatu penyakit ini disebut dengan masa inkubasi.
Sumber gambar : Incubation period
Gejala penyakit baru akan terasa jika mikroba ini mencoba bertahan hidup, dengan membajak fungsi sel atau dengan menghasilkan toksin yangmengganggu metabolisme normal tubuh kita.
Nah, sekarang kita menemukan suatu benang merah mengapa mikroba menyebabkan penyakit, yaitu untuk bertahan hidup dan memperbanyak diri.
Kita tidak akan terjangkit penyakit sungguhan karena mikroba patogen dalam vaksin. Mereka sudah tidak memiliki kecenderungan untuk memperbanyak diri, mereka bahkan sudah tidak mood untuk melanjutkan hidup, jadi emo banget deh anaknya.
Mengapa?
Karena mikroba patogen dalam vaksin berada dalam kondisi yang: [4]
  • Dilemahkan (attenuated)
  • Dibunuh kemudian digunakan secara keseluruhan (inactivated)
  • Diambil hanya bagian tertentu (sub-unit), umumnya berupa protein atau toksoid yang dapat dikenali oleh sistem kekebalan tubuh.
Agar kita lebih memahami cara sistem imun tubuh mengenali mikroba dalam vaksin, anggaplah kita sebagai sistem imun menganggap ayam itu teman dan soang adalah musuh.
  • Kita bisa dengan mudah mengenali ayam hidup dan soang hidup yang dilemahkan (attenuated) dengan dilakban mulutnya agar tidak nyosor.
  • Kita juga bisa membedakan ayam goreng kalasan dengan soang panggang jika masih dalam keadaan utuh (inactivated).
  • Membedakan ayam dan soang dalam bentuk sub - unit? Gampang, kita masih bisa kan membedakan mana ceker ayam, mana ceker ̶k̶u̶c̶i̶n̶g̶ soang.
#3. Bagaimana cara vaksin memicu tubuh mengembangkan kekebalan terhadap penyakit tertentu?
Ketika terjadi infeksi, yang pertama dilakukan oleh tubuh adalah mengaktifkan sistem pertahanan lini pertama yang bersifat non-spesifik (sistem imun bawaan). Semua ancaman yang berteriak "hooooi, aku berbahaya lhoooo" akan segera ditarget untuk dienyahkan tanpa pandang bulu.
Sistem pertahanan lini pertama menyingkirkan ancaman dengan berbagai cara, seperti apoptosis, respons inflamasi, penetralan toksin, maupun memakan si bakteri atau virus dalam suatu proses yang disebut fagositosis oleh neutrofil atau makrofag seperti gambar berikut.
Sumber gambar : Antigen-Presenting Cells
Pada waktu bersamaan, sel dendritik akan membawa antigen ini ke nodus limfe untuk diolah dan dipresentasikan kepada jenis sel lain bernama limfosit. Ini disebut sistem kekebalan lini kedua.
Tahap di atas adalah salah satu dari sekian banyak hal yang sering membuat vaksinasi menemui kegagalan, yaitu tidak bangkitnya sistem kekebalan lini kedua.
Sistem kekebalan lini kedua ini bersifat spesifik melalui pengenalan antigen oleh reseptor pada limfosit yang memiliki kecocokan dengan antigen. Sel yang berperan dalam sistem pertahanan spesifik ini adalah limfosit B dan T.
Limfosit B dan T dihasilkan oleh sel punca (stem cell) yang juga menghasilkan sel - sel darah lainnya. Walaupun memiliki kemampuan yang lebih baik untuk membunuh mikroba patogen karena respon spesifik yang dimilikinya, mereka bukanlah sel yang siap untuk bertarung. Mereka perlu diaktifkan.
Iya, masih ayam sayur.
Limfosit B dan limfosit T yang belum terpajan dengan antigen apapun masih berupa sel yang naive (perawan). Mereka harus cipika - cipiki dulu dengan antigen tertentu untuk dapat berkembang dan memberi respons imun spesifik.
Limfosit yang telah teraktivasi dapat berups sel memori, dan sel efektor yang terdiri dari sel plasma (sel B yang telah aktif), sel T helper 1 dan 2 (sel T CD4) dan sel T cytotoxic (sel T CD8).
Aktivasi sel ini baru akan terjadi apabila suatu antigen dari mikroba patogen dipresentasikan oleh sel penyaji antigen (antigen presenting cell), yang dapat berupa sel dendritik, makrofag, dan sel B.
Limfosit yang telah aktif kemudian mengalami proliferasi dan diferensiasi membentuk sel efektor berikut (sel Th1 dan sel Th2) dan sel memori. Proses ini bisa memakan waktu beberapa hari hingga minggu.
Sel T helper 1 yang aktif kemudian akan melepaskan sitokin, suatu molekul yang berfungsi sebagai mekanisme komunikasi antar sel. Sinyal yang diberikan oleh terlepasnya sitokin di tempat masuknya mikroba patogen menyebabkan sel - sel kekebalan tubuh lini pertama seperti makrofag, neutrofil, dan sel natural killer menyerbu lebih ganas ke bagian yang terinfeksi.
Iya, kamu benar, peranan sel T helper 1 disini menjadi semacam provokator yang sering meneriakkan "bakar begalnya!" saat ada kasus maling motor di kampung. Ini terjadi jika si maling belum berhasil diringkus oleh pertahanan pertama setelah beberapa hari.
Sementara itu sel T helper 2 yang aktif akan mencari sel limfosit B naive yang telah mengikat suatu antigen, untuk kemudian melepaskan sitokin yang mengaktivasi pematangan sel B menjadi sel plasma yang dapat memproduksi antibodi spesifik antigen tersebut.
Sementara itu, sel T sitotoksik yang masih naive juga harus diaktivasi, sebelum dapat melepaskan suatu senyawa kimia yang akan mengaktivasi proses apoptosis untuk menghancurkan sel terinfeksi yang rusak tanpa bisa diperbaiki lagi.
Sumber gambar : Lymphocytes and Immunity
Jika suatu ancaman sudah selesai dihalau, maka kita harus mengucapkan selamat tinggal kepada sel efektor. Karena jika mereka tidak pensiun maka sistem imun kita akan terus dalam keadaan aktif. Hal ini dapat menimbulkan suatu penyakit autoimun yang tidak diharapkan.
Namun, tubuh kita akan mempertahankan sel memori yang akan dengan cepat teraktivasi menjadi sel efektor dan membuat klon/salinan dirinya untuk menghalau mikroba patogen yang sama.
Sumber gambar : Memory Cells
Sel memori terhadap suatu patogen spesifik inilah yang diharapkan untuk kita miliki setelah menjalani vaksinasi, selain antibodi di atas yang bisa bertahan dalam tubuh.
Sehingga, ketika terjadi pajanan bakteri atau virus sebenarnya, tubuh kita sudah memiliki antibodi dan sel memori yang dapat mengenali dan memberikan respons cepat terhadap antigen tersebut, mencegah terjadinya sakit.
Lalu kenapa kita tetap memerlukan vaksinasi, secara alamiah kita kan tetap bisa mengembangkan kekebalan adaptif?
Yaaa, masalahnya ……
  • Antigen yang harus dikenali jenisnya beragam sekali, dan tidak semua antigen ini pernah masuk ke tubuh kita secara alami.
  • Apabila suatu bibit penyakit masuk ke dalam tubuh kita, dibutuhkan waktu misal beberapa hari hingga minggu agar antigen yang dibawa oleh antigen presenting cell dapat mengaktivasi pematangan limfosit B dan T, seperti sudah dijelaskan di atas.
Dengan mengetahui dua kondisi ini, sekarang kita paham bahwa waktu yang dibutuhkan agar sistem kekebalan adaptive teraktivasi harus lebih singkat, dibandingkan waktu yang dibutuhkan oleh virus dan bakteri menyebabkan penyakit.
Disinilah pentingnya peran vaksin.
Tidak seperti saat terkena penyakit sungguhan, saat divaksinasi sistem imun kita tidak perlu berkejaran dengan waktu untuk menunggu teraktivasinya sistem pertahanan lini kedua.
Antigen yang dibawa oleh vaksin akan mengaktivasi sel T dan sel B menjadi sel efektor dan sel memori, dan antibodi seperti yang sudah daku tuliskan di atas.
Respons imun setelah paparan berulang akan semakin cepat untuk membunuh patogen, seperti kata mbah Nietzsche.
Terima kasih sudah berkenan membaca (ノ´ヮ´)ノ*:・゚✧
Catatan Kaki