Kecenderungan seseorang untuk mengonsumsi suatu obat terus menerus dalam jangka waktu yang panjang dapat disebakan oleh efek toleransi maupun efek adiksi/dependensi. Ketiganya memiliki mekanisme yang berbeda, walaupun saling terkait satu sama lain (o・_・)ノ”(ノ_<、)
#1. Toleransi
Secara sederhana, toleransi adalah suatu konsep yang menjelaskan bagaimana suatu obat dapat kehilangan efektivitasnya secara bertahap dalam suatu pemakaian berulang.
Seperti saat kita terbiasa mengonsumsi obat sakit kepala saat pusing atau obat pereda hidung tersumbat saat pilek.
Hingga pada akhirnya di suatu titik, pusing kita tidak dapat hilang hanya dengan mengonsumsi satu tablet obat pereda sakit kepala seperti biasanya? Lalu apa yang kita lakukan?
Makan dua tablet? (´ ∀ ` *)/
Walaupun meningkatkan dosis dapat mengamplifikasi efek dari suatu obat, hal itu hanya akan mempercepat proses terjadinya toleransi.
Toleransi dapat terjadi secara farmakokinetika, akibat berkurangnyajumlah bahan aktif obat yang mencapai reseptor untuk memengaruhi suatu mekanisme biologis.
Hal ini terjadi akibat meningkatnya produksi enzim tertentu sebagai mekanisme adaptasi alami tubuh. Enzim-enzim ini akan memproses obat tersebut menjadi bentuk tidak aktifnya, contohnya enzim dalam keluarga sitokrom P450 yang bertanggung jawab pada metabolisme lintas pertama di hati.
Selain itu, bisa juga terjadi toleransi secara farmakodinamika pada obat-obatan yang bekerja sebagai agonis (untuk mengaktivasi) suatu reseptor, contohnya fenilefrin yang menjadi bahan aktif di banyak obat flu untuk melegakan hidung tersumbat. [1]
Oh ya, yang dimaksud dengan reseptor adalah suatu molekul protein yang terdapat pada permukaan sel, dan berfungsi untuk menerima sinyal kimia dari luar sel.
Saat suatu sinyal kimia seperti hormon atau neurotransmitter berikatan dengan reseptor, akan terjadi suatu respons seluler atau jaringan secara kolektif. [2]
Terlalu banyak mengonsumsi obat tertentu akan membuat sel tubuh kita menyesuaikan jumlah reseptor pada permukaannya, proses ini disebut dengan receptor-down-regulation.
Contoh desensitasi dijelaskan secara baik pada obat-obatan yang bertarget pada reseptor terkait protein G (GPCR). Reseptor ini merupakan target utama dari 30% obat-obatan yang ada saat ini.
Berkurangnya sensitivitas reseptor diawali dengan terikatnya suatu obat agonis secara kronis (pemakaian terus menerus dalam jangka panjang). Hal tersebut akan mengaktifkan enzim G-protein-coupled receptor kinase (GRKs). [3]
Enzim GRK akan mengubah susunan GPCR[4] melalui proses fosforilasi agar dapat berikatan dengan beta-arrestin.
Reseptor yang terikat dengan beta-arrestin kemudian akan mengalami endositosis dan menghilang dari permukaan sel. [5]
Sumber gambar : Laboratory of Cornelius Krasel
Lagi-lagi, hal ini terjadi sebagai bentuk adaptasi tubuh untuk menghindari masalah yang mungkin akan terjadi akibat teraktivasinya terus menerus suatu mekanisme biologi tertentu.
Dengan berkurangnya kerapatan dari reseptor, tentunya efek obat akan menurun karena semakin sedikit reseptor yang dapat diaktifkan olehnya. Inilah yang menyebabkan seseorang tidak mempan terhadap obat-obatan tertentu.
Itulah makanya kalau ngegombalin si teteh jangan terlalu sering, nanti dia kebal terhadap recehan kita ( ´ ω ` )/
#2. Adiksi/dependensi
Walaupun mirip, tetapi adiksi (kecanduan) dan dependensi (ketergantungan) merupakan hal yang berbeda.
Secara sederhana, adiksi terhadap suatu obat disebabkan akibat manipulasi terhadap keseimbangan neurotransmitter dalam otak. Beberapa obat yang termasuk NAPZA akan membanjiri otak dengan neurotransmitter dopamin. [6]
Penyalahgunaan senyawa-senyawa yang dapat meningkatkan produksi dopamin dapat menyebabkan gangguan pada reward system [7] pada otak.
Saya tidak akan membahas lebih lanjut karena mekanisme psikologi akibat adiksi bukanlah bidang saya.
Sementara itu, dependensi terhadap obat terjadi karena tubuh telah menyesuaikan diri dengan adanya suatu senyawa asing, dalam hal ini obat dalam tubuh kita. Sehingga apa yang sebenarnya tidak normal, dianggap sebagai suatu hal yang normal.
Nah, saat kita menghentikan penggunaan obat-obat tersebut, tubuh akan mengalami gangguan karena menganggap terjadi ketidaknormalan dalam tubuh kita.
Contoh yang paling klasik adalah gejala penarikan kortikosteroid. Saya yakin sekali orang yang mengonsumsi deksametason, prednison, metilprednisolon secara asal-asalan untuk mengobati radang tanpa petunjuk dokter, merupakan populasi utama yang sering mengalami masalah ini. [8]
Terima kasih sudah berkenan membaca. ( ´ ∀ ` )ノ
Catatan Kaki
No comments:
Post a Comment