Sebagai mantan pejuang kost, saya belajar untuk memanfaatkan resources yang ada semaksimal mungkin, prinsip saya adalah selama benda yang saya makan tidak berpotensi membuat saya mati, saya akan menelannya.
Saat saya kuliah di Bandung, saya menempati suatu rumah kost yang pemiliknya seorang nenek tua berusia +/- 70 tahun. Nenek tersebut tinggal sendiri, tidak ada yang menemani, karena suaminya telah meninggal dan anak sang nenek bekerja di luar kota.
Sang nenek tinggal di sebuah rumah besar terpisah dari rumah kost miliknya, selain ditempati nenek, rumah tersebut juga menjadi tempat tinggal bagi burung, kucing dan ikan - ikan peliharaannya, untuk membantu merawatnya, beliau memiliki seorang tukang kepercayaan, tukang ini bekerja merawat kost serta menjadi ajudan pribadi si nenek.
Suatu hari, saya hendak membayar uang sewa kost yang sudah saya tunggak selama dua bulan, saat sampai di rumah si nenek dan mengetuk pintunya, saya melihat pada wajahnya terpasang ekspresi sedih saat membukakan pintu untuk saya.
Saya pun tergoda untuk bertanya.
“Ada apa eyang, kenapa sedih?”
Ternyata salah satu ikan peliharaan beliau mati, ikan tersebut adalah ikan louhan yang sudah dipeliharanya sejak lama, sejak suaminya masih hidup. Melihat ada potensi untuk mendapatkan bahan makanan, saya pun memberanikan diri bertanya dengan mata berbinar - binar.
“Jika eyang tidak tega membuang ikan tersebut, biar saya saja yang menguburkannya”
Tidak saya duga, si eyang ternyata mengiyakan, dengan hati - hati saya menciduk akuarium berisi sang louhan yang sudah mengambang, kemudian saya masukkan kedalam kantung plastik.
Sampai di kost, dengan barbar saya bersihkan louhan itu di kamar mandi, saya tidak menggunakan wastafel di dapur karena takut si eyang tiba - tiba datang, saya tidak mau dipolisikan dengan alasan penipuan, katanya mau dikubur ternyata dimakan. Bagian kepalanya saya buang dan saya fillet tulang - tulangnya.
Daging louhan tersebut kemudian saya goreng dengan tepung ayam, dan saya gunakan sebagai teman nasi hangat bersama cocolan saus dan mayones, rasanya mirip sekali dengan gurame atau mujair, demikian pendapat seorang teman yang saya ajak makan siang bersama, tanpa saya beritahu sebenarnya dari spesies apa nugget ikan hangat itu saya buat.
Hingga saya pamit dari kostan tersebut, di belakang kostan ada suatu gundukan dengan batu - batu putih penghias taman yang mengelilinginya, sampai saat saya pergi si nenek masih percaya bahwa ikan louhan pemberian suaminya masih terbaring di sana.
Entah sampai sekarang si nenek sudah tahu atau belum kenyataan sebenarnya bahwa louhan kesayangannya berakhir di perut anak kost yang kelaparan.
Sekadar tambahan agar tetap menjawab rasa penasaran anda, ikan mas koki tidak edible, tidak layak untuk dimakan, kelihatannya saja besar, tetapi terlalu banyak jeroan dan kotoran didalam tubuhnya. Saya mengetahui hal ini setelah mencoba membuat sup ikan dari mas koki peliharaan teman yang mengambang setelah dua minggu ditinggal pulang kampung dan tidak diberi makan. Setelah bersusah payah membersihkan dua dari lima ekor mas koki, saya berikan saja ikan - ikan malang itu kepada kucing yang kelaparan.
Kalau ikan cupang sejujurnya saya tidak tahu karena belum memiliki kesempatan untuk mengolahnya.
ヽ( ・∀・)ノ
No comments:
Post a Comment