Thursday, March 28, 2019

The art of riding slow

“kamu kan pakai roadbike, masa pelan banget sih”
“ayo dipercepat, kita nanti kemalaman”
“warung teteh keburu tutup euy kalau kita gowes dengan pace seperti ini”
Sebagai seorang pesepeda yang slow baik slow saat uphill karena tidak kuat memacu kaki melawan gravitasi maupun slow saat downhill karena tidak kuat memacu adrenalin untuk memacu sepeda menyaingi kecepatan sepeda motor, saya sering mendengarkan kalimat kalimat di atas. Padahal mbah kita bersama pernah berkata :  

Not all cyclist in a hurry, kalimat itu terasa pas menggambarkan yang saya rasakan. Saya bersepeda untuk menikmati waktu dan kilometer yang berada di depan saya, setiap putaran pedal saya niatkan untuk menghibur diri dan jiwa yang lelah setelah beraktivitas.
I was always in a hurry, except when I riding my bike
Bersepeda dengan lambat membuat saya dapat melambaikan tangan kepada para pesepeda lainnya, petani yang baru pulang dari ladang, dan membalas senyuman para pengguna jalan lain saat saya melintas.
Bersepeda dengan lambat membuat saya dapat menikmati setiap tikungan, tanjakan dan ketidaksempurnaan pada aspal seraya melihat pemandangan dan perubahan yang terjadi pada lingkungan tempat saya sering bersepeda.
Bersepeda dengan lambat berarti saya tidak perlu mengindahkan notifikasi strava segment yang dikejar kejar oleh pesepeda lain dan fokus saja mendengarkan suara alam.
Bersepeda dengan lambat membuat saya dapat lebih menikmati nikmat yang diberikan oleh tuhan, paru paru untuk menghirup udara segar pegunungan dengan ritme yang masih normal dan kaki yang masih mau bekerja sama memutar pedal dengan cadence yang optimal tanpa resiko kram ditengah perjalanan.
I view cycling as active listening, a tool to learn more about this beautiful planet that I call my own.

No comments:

Post a Comment